Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
DaerahHukrimPeristiwa

Tambang Emas Ilegal di Cilograng Diduga Setor “Upeti” ke Oknum Aparat, Aktivis Baralak Desak Polda Banten Bertindak Tegas

26
×

Tambang Emas Ilegal di Cilograng Diduga Setor “Upeti” ke Oknum Aparat, Aktivis Baralak Desak Polda Banten Bertindak Tegas

Sebarkan artikel ini
Lubang tambang emas ilegal dengan pintu kayu di kawasan Desa Cikamunding, Kecamatan Cilograng, Kabupaten Lebak, Banten.
Tampak pintu kayu sederhana di salah satu lubang tambang emas ilegal di wilayah Desa Cikamunding, Kecamatan Cilograng, Lebak. Aktivitas PETI di kawasan ini tetap berjalan meski telah beberapa kali dilakukan penertiban oleh aparat. 9foto: baralaknusantara.com

LEBAK, Baralaknusantara.com – Aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di Kecamatan Cilograng, Kabupaten Lebak, Banten, tampaknya belum juga surut. Meski aparat kepolisian sempat melakukan penertiban dan penangkapan beberapa bulan lalu, fakta di lapangan menunjukkan puluhan lubang tambang ilegal masih beroperasi secara masif di wilayah Kampung Cileungsir, Desa Cikamunding.

Ironisnya, dari informasi yang dihimpun tim investigasi Baralak Nusantara, para pelaku PETI di wilayah tersebut diduga dimintai “setoran” atau upeti oleh oknum aparat kepolisian setempat agar aktivitas mereka tetap berjalan aman. Dugaan praktik ini memperkuat asumsi adanya pembiaran sistematis terhadap kegiatan ilegal yang merusak lingkungan dan mencederai hukum.

BACA: Diskusi BEM Nusantara Banten Soroti Konflik dan Regulasi Pertambangan Rakyat di Lebak Selatan

“Seolah tidak ada kapoknya, mereka masih saja melakukan penambangan secara liar dan masif. Parahnya lagi, muncul kabar adanya setoran dari para penambang kepada oknum aparat,” ujar Yudistira, Aktivis Baralak Nusantara, kepada Baralaknusantara.com, Rabu (14/10/2025).

Menurut Yudistira, sekitar 80 persen warga Desa Cikamunding menggantungkan hidup dari aktivitas tambang ilegal. Mereka memiliki lubang emas masing-masing dan sebagian juga memiliki alat pengolahan sendiri—baik yang menggunakan sistem “gulundung” (penggilingan tradisional) maupun perendaman kimia.

“Yang paling dikhawatirkan bukan hanya rusaknya alam, tapi juga limbah berbahaya dari pengolahan emas yang menggunakan merkuri dan sianida. Kalau terus dibiarkan, air tanah dan sungai di sekitar akan tercemar dan membahayakan kesehatan masyarakat,” tegas Yudistira.

BACA: Mafia Tambang Terdesak: Prabowo Cabut IUP di Raja Ampat, Targetkan 1.063 Tambang Ilegal

Aktivis Baralak ini juga mengungkapkan bahwa pihaknya sedang menyiapkan laporan resmi yang akan dilayangkan ke Polda Banten c.q. Ditreskrimsus, dengan tuntutan agar aparat penegak hukum menindak tegas seluruh pelaku dan oknum penerima “setoran” dari aktivitas PETI.

“Surat laporan sedang kami rampungkan. Kami minta APH bertindak tanpa pandang bulu, termasuk menelusuri dugaan keterlibatan oknum aparat yang menerima upeti dari tambang ilegal itu,” kata Yudistira menegaskan.


Sanksi Hukum Bagi Pelaku Tambang Ilegal

Dalam konteks hukum, aktivitas Penambangan Tanpa Izin (PETI) merupakan tindak pidana serius sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Pasal 158 UU Minerba menegaskan:

“Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin resmi sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.”

BACA: Baralak Nusantara: Segera Permudah Izin Tambang Rakyat, Jangan Biarkan Masyarakat Terjebak Status Ilegal

Selain itu, dalam pasal 161, disebutkan bahwa setiap pihak yang turut serta atau membantu dalam kegiatan tambang ilegal juga dapat dijerat pidana yang sama. Artinya, oknum aparat yang diduga menerima upeti dari aktivitas PETI juga bisa dikenai sanksi pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kegiatan PETI di Cilograng telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah. Banyak lubang tambang dibiarkan terbuka tanpa adanya reklamasi pasca-penambangan. Selain itu, limbah hasil pengolahan emas diduga mengandung bahan kimia berbahaya seperti merkuri (Hg) dan sianida (CN), yang berpotensi mencemari tanah dan air di kawasan tersebut.

“Reklamasi itu wajib dilakukan oleh setiap pelaku tambang, tapi di sini tidak ada. Ini bentuk pelanggaran berat, dan pemerintah daerah seharusnya tidak menutup mata,” ujar Yudistira menambahkan.


Sampai berita ini dipublikasikan, Kepala Desa Cikamunding belum dapat dikonfirmasi terkait aktivitas tambang ilegal yang marak di wilayahnya.

Aktivis Baralak Nusantara menegaskan, jika penegak hukum terus abai, maka kerusakan ekologis dan sosial akan makin dalam, serta menumbuhkan budaya impunitas di tengah masyarakat.

“Kami akan kawal kasus ini sampai tuntas. Negara tidak boleh kalah dengan tambang ilegal,” pungkas Yudistira.

Penulis: Redaksi Baralak Nusantara
Editor: redpel