LEBAK | Baralaknusantara.com — Kebijakan Bupati Lebak dalam mengangkat Pelaksana Tugas (Plt) Dewan Pengawas Perusahaan Umum Daerah Air Minum (Perumdam) Tirta Multatuli tanpa mengisi terlebih dahulu jabatan Direktur yang kosong, merupakan bentuk pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dalam regulasi tersebut ditegaskan, bahwa apabila terjadi kekosongan pada dua organ vital BUMD (Direksi dan Dewan Pengawas), kepala daerah wajib mengambil alih kewenangan secara langsung, bukan justru melempar tanggung jawab kepada pejabat sementara.
Baca Juga: Kebijakan Bupati Lebak Tuai Kecaman, Baralak Nusantara Ancam Gelar Aksi Akbar
Kebijakan yang cacat prosedur tersebut bukan hanya menunjukkan lemahnya pemahaman terhadap prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), tetapi juga mencerminkan anomali kepemimpinan yang mengganggu sistem birokrasi daerah. Ketidaktegasan dan ketidaktertiban dalam menjalankan peraturan berpotensi merusak tatanan administrasi pemerintahan dan menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan daerah.
Baca Juga: Mie Gacoan Rangkasbitung: Investasi atau Penindasan Berkedok Bisnis?
Dampak paling nyata dari anomali kepemimpinan ini dirasakan langsung oleh masyarakat Kabupaten Lebak, khususnya pelanggan PDAM Tirta Multatuli. Kebijakan yang tidak berpijak pada aturan hukum menyebabkan ketidakpastian pelayanan air bersih, menurunnya kualitas pelayanan publik, hingga terganggunya hak dasar masyarakat atas akses air bersih yang layak. Air merupakan hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, sehingga setiap bentuk penyalahgunaan kewenangan yang berakibat pada terhambatnya pemenuhan hak dasar ini adalah bentuk kelalaian serius dalam tanggung jawab publik.
Lebih jauh, fenomena anomali kepemimpinan Bupati Lebak tidak hanya terlihat dalam persoalan PDAM. Kasus berdirinya dan beroperasinya gerai Kedai Mie Gacoan di Rangkasbitung juga memperlihatkan pola serupa: lemahnya pengawasan dan penegakan aturan. Gerai tersebut telah beroperasi penuh sebelum seluruh dokumen perizinan selesai diproses. Padahal, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan serta Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, setiap pelaku usaha wajib memperoleh izin terlebih dahulu sebelum menjalankan kegiatan usaha.
Baca Juga: OPINI: PDAM Lebak — Krisis Air atau Krisis Kepemimpinan?
Lebih memprihatinkan lagi, dalam kasus Mie Gacoan ditemukan fakta bahwa upah karyawan hanya sebesar Rp700.000 per bulan, jumlah yang jauh di bawah ketentuan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Lebak Tahun 2025, yang seharusnya menjadi acuan wajib bagi seluruh perusahaan. Praktik seperti ini mencerminkan bentuk ketidakpedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, sekaligus menggambarkan lemahnya fungsi pengawasan pemerintah daerah terhadap pelanggaran ketenagakerjaan.
Dari dua kasus di atas—PDAM dan Mie Gacoan—dapat disimpulkan bahwa anomali kepemimpinan Bupati Lebak telah melahirkan ketimpangan dalam sistem birokrasi, melemahkan supremasi hukum, dan menimbulkan dampak sosial ekonomi yang merugikan masyarakat.
Baca Juga: Korupsi PDAM Lebak Jadi Sorotan, Baralak Tekankan Transparansi Penegakan Hukum
Kalau seorang bupati saja tidak mampu ambil keputusan yang benar, lalu untuk apa duduk di kursi itu? Jangan jadikan rakyat Lebak korban kepentingan pribadi.
Penulis: Yudistira (Saat ini penulis merupakan ketua umum dari Perkumpulan Barisan Rakyat Lawan Korupsi Nusantara)
Editor: Redaksi
Baralaknusantara.com – Suara Rakyat, Penegak Nurani Bangsa