LEBAK – BaralakNusantara.com
Aroma ketertutupan kembali menyelimuti Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lebak. Ketua DPRD Lebak diduga memilih bungkam ketika diminta memberikan klarifikasi resmi terkait penggunaan Anggaran Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan serta Anggota Dewan Tahun 2025.
Permintaan klarifikasi ini dilayangkan oleh Perkumpulan Gerakan Moral Anti Kriminalitas (GMAKS) melalui surat resmi Nomor: 14/klarf.gmaks/X/25 tertanggal 6 Oktober 2025. Surat tersebut ditujukan langsung kepada Ketua DPRD Kabupaten Lebak dan ditembuskan ke sejumlah instansi pengawasan strategis, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Banten, Bupati Lebak, hingga Komisi Informasi Publik (KIP) Provinsi Banten.
BACA: DPRD Dinilai Lunak, Aktivis Tekan Polisi Tindak Dugaan Pungli Pegawai Puskesmas
Tanda terima surat menunjukkan bahwa pihak DPRD Lebak telah menerima dokumen tersebut. Namun, hingga kini tak ada tanggapan resmi yang keluar dari pihak Ketua DPRD Lebak.
Ketua Umum GMAKS, Saeful Bahri, menegaskan bahwa DPRD memiliki kewajiban hukum dan moral untuk membuka informasi publik, apalagi menyangkut pengelolaan uang rakyat.
“Kami meminta Ketua DPRD Lebak bersikap kooperatif dan transparan. Keterbukaan informasi adalah hak konstitusional warga negara, dan menjadi bagian penting dari upaya pencegahan tindak kriminalitas korupsi,” tegas Saeful Bahri dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (20/10/2025).
BACA: Mie Gacoan Rangkasbitung Diduga Kebal Hukum — Pemkab hingga DPRD Bungkam, Ada Beking Kuat di Baliknya?
GMAKS menilai sikap diam DPRD bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) serta Pasal 28F UUD 1945, yang menjamin setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan diri dan lingkungan sosialnya.
Dalam surat klarifikasi tersebut, GMAKS secara rinci meminta data dan dokumen terkait komponen anggaran yang melekat pada anggota dewan, di antaranya:
Gaji dan tunjangan anggota dewan. Uang representasi (gaji pokok pimpinan dan anggota), Tunjangan keluarga, beras, dan jabatan, Uang paket serta Dana operasional pimpinan DPRD.
Selain itu, GMAKS juga meminta dokumen pengadaan barang dan jasa seperti Kerangka Acuan Kerja (KAK), Harga Perkiraan Sendiri (HPS), dan Dokumen Kontrak, sebagaimana diatur dalam Peraturan Komisi Informasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2021.
Menurut Saeful, langkah ini bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari gerakan sosial kontrol dan kajian hukum untuk memastikan bahwa pelaksanaan anggaran publik sesuai peraturan dan tidak menyimpang dari prinsip akuntabilitas.
“Kami hanya ingin memastikan, apakah penggunaan anggaran itu sudah sesuai dengan ketentuan hukum dan asas transparansi. Publik berhak tahu, karena uang itu berasal dari rakyat,” ujarnya.
Desakan GMAKS ini juga menjadi bagian dari gerakan moral dalam mencegah tindak pidana korupsi, yang dinilai sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) karena tidak hanya merugikan keuangan negara dan daerah, tetapi juga merampas hak sosial dan ekonomi masyarakat.
Kini, publik Lebak menanti langkah Ketua DPRD: apakah akan membuka ruang transparansi dan menjawab surat klarifikasi itu, atau terus memilih bungkam , membiarkan pertanyaan besar tentang ke mana aliran uang rakyat itu berakhir.
editor: Yudistira