Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
BeritaPeristiwa

Dugaan “Damai” di Balik Kasus Asusila ASN, Baralak Nusantara Laporkan Oknum Pejabat BKPSDM ke Polda Banten

92
×

Dugaan “Damai” di Balik Kasus Asusila ASN, Baralak Nusantara Laporkan Oknum Pejabat BKPSDM ke Polda Banten

Sebarkan artikel ini
Kantor Dinas BPKSDM
kantor bpksdm pandeglang

Pandeglang (BN)– Aroma busuk praktik “damai” di luar mekanisme hukum kembali menyeruak dari lingkaran birokrasi Kabupaten Pandeglang. Perkumpulan Barisan Rakyat Lawan Korupsi (Baralak) Nusantara secara resmi melayangkan laporan pengaduan (Lapdu) ke Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Banten terkait dugaan pelanggaran kode etik dan indikasi gratifikasi yang menyeret seorang pejabat Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) berinisial F.

Kasus ini bermula dari dugaan pelanggaran etik seorang kepala sekolah yang diduga terlibat perkara asusila. Alih-alih diproses sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, justru muncul skenario “damai” yang diduga difasilitasi oleh F bersama salah satu organisasi masyarakat (ormas).

Ketua Umum Baralak Nusantara, Yudistira, menyatakan pihaknya menemukan adanya indikasi pertemuan antara pihak ormas dan oknum kepala sekolah yang difasilitasi oleh F. Pertemuan itu diduga berujung pada kesepakatan damai dengan imbalan uang sebesar Rp 7 juta.

“Jika benar terjadi, ini bukan sekadar penyimpangan prosedur, melainkan potensi gratifikasi yang masuk ranah pidana. Sebagai pejabat BKPSDM, F seharusnya menegakkan aturan disiplin ASN, bukan malah jadi mediator kompromi,” tegas Yudistira saat ditemui di Rangkasbitung, Sabtu (23/8/2025).

Menurutnya, dugaan ini sangat serius karena mengandung unsur konflik kepentingan, maladministrasi, dan melanggar prinsip integritas aparatur sipil negara.

Yudistira menekankan bahwa kasus dugaan asusila seharusnya diproses melalui mekanisme resmi, mulai dari pemeriksaan inspektorat hingga rekomendasi sanksi sesuai peraturan disiplin ASN.

“Jika aparat birokrasi dibiarkan mencari jalan damai dengan dalih mediasi, maka setiap pelanggaran akan selesai dengan uang, bukan dengan hukum. Itu sama saja mengkhianati sumpah jabatan,” tambahnya.

Baralak menegaskan, praktik semacam ini membuka ruang korupsi gaya baru dalam birokrasi daerah: menjual kewenangan untuk melindungi pelanggar disiplin ASN.

Bantahan F yang Dinilai Janggal

Sementara itu, F yang disebut-sebut terlibat dalam pertemuan tersebut, membantah mengetahui adanya transaksi uang. Ia mengklaim hanya sebatas memfasilitasi pertemuan antara ormas dan oknum kepala sekolah. Namun bantahan tersebut dinilai belum menjawab substansi dugaan gratifikasi yang kini semakin menguat di publik.

“Kalau memang tidak ada uang, mengapa harus ada pihak ketiga seperti ormas dalam penyelesaian kasus etik ASN? Ini sudah jelas menyalahi mekanisme,” kata Yudistira.

Baralak mendesak Dirkrimum Polda Banten segera memanggil semua pihak terkait, mulai dari F, pihak ormas, hingga kepala sekolah yang terlibat. Laporan ini juga diharapkan menjadi pintu masuk bagi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Inspektorat Daerah untuk melakukan investigasi mendalam.

“Jangan sampai kasus ini berhenti di meja perundingan. Kalau dibiarkan, ini akan jadi preseden buruk dan mencoreng wajah birokrasi Pandeglang,” ujar Yudistira.

Kasus dugaan gratifikasi ini menambah panjang daftar persoalan integritas birokrasi di Kabupaten Pandeglang. Publik kini menunggu apakah aparat penegak hukum berani mengungkap kebenaran, atau justru terjebak dalam lingkaran kompromi yang selama ini menjadi budaya gelap birokrasi.

Jika terbukti, F berpotensi melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi terkait gratifikasi, serta melanggar kode etik ASN sebagaimana diatur dalam PP No. 94/2021.

“Ini bukan hanya soal uang Rp 7 juta, tapi soal mentalitas birokrasi yang rusak. Publik berhak tahu, apakah hukum ditegakkan atau malah diperdagangkan,” pungkas Yudistira. (**/)