Cilegon — baralaknusantara.com , Kasus Mohammad Ridwan alias Kewer, yang sejak Januari 2025 ditempatkan di sel maksimal Lapas Kelas IIA Cilegon akibat kedapatan memiliki ponsel saat razia, memicu sorotan dari berbagai pihak terkait aspek hukum dan kemanusiaan.
Komnas HAM, melalui catatan dan aduan yang ditanganinya, kian menegaskan bahwa perlakuan terhadap narapidana harus selalu menjunjung tinggi standar hak asasi manusia. Dalam statistik aduan yang dipublikasikan, Komnas HAM menyampaikan bahwa lembaganya telah menerima 176 aduan kasus penyiksaan pada rentang 2020–2024, yang menunjukkan masih adanya celah perlakuan sewenang-wenang terhadap tahanan atau WBP di fasilitas pemasyarakatan.
Meskipun bukan secara langsung menyebut kasus isolasi panjang sebagai yang terpisah, laporan tersebut memperlihatkan bahwa Komnas HAM aktif memantau praktik penghukuman atau perlakuan berlebihan dalam lapas dan rutan.
Komnas HAM juga dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa ketika ada pembatasan hak-hak dasar narapidana—misalnya kunjungan keluarga atau komunikasi—harus ada dasar hukum, proporsionalitas, evaluasi berkala, dan pengawasan eksternal agar tindakan pembatasan tidak berubah menjadi bentuk pelanggaran HAM terselubung.
Sementara itu, Ketua Umum Baralak Nusantara, Yudistira dengan tegas menyuarakan protes terhadap isolasi panjang yang dialami Ridwan.
“Penempatan ke sel maksimal yang berbulan-bulan tanpa akses bertemu keluarga berpotensi melanggar hak dasar narapidana, yakni hak untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan keluarganya.” kata Yudistira dalam pernyataannya.
Menurut Yudistira, meski aturan melarang ponsel di lapas memiliki justifikasi keamanan, tetapi isolasi berkepanjangan yang tidak dibarengi evaluasi, transparansi, dan pembenaran hukum yang jelas mesti dipertanyakan
“Sanksi memang harus ditegakkan, tetapi tetap dalam bingkai hukum dan rasa kemanusiaan. Jangan sampai lapas justru menjadi tempat yang merenggut martabat manusia.”
editor: yudistira