Lebak – Baralaknusantara.com –Restoran cepat saji Mi Gacoan yang berdiri di Jalan Jenderal Ahmad Yani, Lebak Picung, Rangkasbitung, seakan hadir membawa warna baru bagi dunia kuliner. Namun di balik hiruk pikuk pengunjung, muncul gelombang protes keras dari pekerja dan aktivis. Sorotan tajam kini mengarah pada tiga hal: upah karyawan yang tak manusiawi, legalitas bangunan yang dipertanyakan, hingga aroma “restu tangan tak terlihat” yang meloloskan usaha ini.
Upah Rp700 Ribu
Salah seorang karyawan, inisial IM, mengungkap fakta mengejutkan. Alih-alih menerima gaji sesuai UMK Kabupaten Lebak sebesar Rp3.172.384, ia hanya membawa pulang sisa Rp700 ribu setelah potongan.
BACA JUGA: Mie Gacoan Rangkasbitung Diduga Belum Kantongi Izin, Aktivis Desak DPRD Panggil Pihak Manajemen
“Saya terima cuma Rp1,8 juta, itu pun dipotong BPJS dan potongan perusahaan. Bersihnya tinggal Rp700 ribu,” ujar IM melalui pesan suara, Kamis (11/9/2025).
Menurut Sekjen Baralak Nusantara Hasan Basri SPd.I Angka itu tidak hanya mencederai akal sehat, tapi juga melanggar hukum. UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan serta PP No. 36/2021 tentang Pengupahan jelas melarang pembayaran di bawah upah minimum.
“Pasal 185 UU Ketenagakerjaan tegas mengatakan pengusaha yang membayar upah di bawah UMK bisa dipidana 1–4 tahun penjara dan/atau denda Rp100–400 juta. Ini pelanggaran serius, bukan sekadar salah hitung.” katanya
Masalah makin runyam ketika dari struk pembelian Mi Gacoan, tidak tercantum pajak resmi. Aktivis menilai hal ini bukti kuat adanya dugaan pelanggaran izin usaha dan pengelakan pajak.
BACA: Pungli P3TGAI di Lebak-Pandeglang, Baralak: Legislator PKB Diduga Jadi Dalang
“Bangunan itu kami duga kuat tidak memiliki izin resmi. Faktanya, struk keluar tanpa pajak tertera,” ungkap Nofi Agustina, aktivis Baralak.
Aktivis perempuan ini menyebut jika pihak manajemen mi Gacoan telah melanggar UU No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung (diubah UU Cipta Kerja) serta PP No. 16/2021 mewajibkan PBG (Persetujuan Bangunan Gedung). Tanpa PBG, usaha bisa dikenai sanksi peringatan, penghentian kegiatan, hingga pembongkaran.
Lebih parah lagi, lokasi bangunan hanya sepelemparan batu dari Sungai Ciujung. Berdasarkan UU No. 17/2019 tentang Sumber Daya Air dan Permen PUPR No. 28/2015, sempadan sungai minimal 100 meter dari tepi palung sungai.
“Fakta ini kian memperkuat dugaan bahwa Mi Gacoan berdiri di atas “fondasi pelanggaran” dan ini yang disebut kapitalisme. tandasnya
Aktivis Geruduk DPRD, Dewan Janji Sidak
Aktivis mendatangi Komisi III DPRD Lebak. Dialog berlangsung tiga jam, dipimpin Ketua Komisi III Junaedi. Senin (15/9/2025),
Dalam forum itu, para aktivis menantang anggota dewan komisi III kabupaten lebak untuk segera bertindak terhadap polemik dan aduan yang dipaparkan oleh aktivis mengenai dugaan adanya ketidakberesan berdirinya Mi Gacoan yang penuh kintroversi .
“Bapak-bapak ini digaji dari pajak rakyat. Kalau pajak saja dilanggar, dan buruh diinjak upahnya, apa fungsi DPRD? Tolong sikapi dengan serius,” tegas Nofi seorang aktivis perempuan dari Baralak Nusantara.
BACA: Pungli P3TGAI di Lebak-Pandeglang, Baralak: Legislator PKB Diduga Jadi Dalang
Pertanyaan paling tajam kini menggema dari ketua Relawan Pembela Masyarakat (RPM) Aji, dia mempertanyakan soal perijinan dari mi Gacoan yang diduga kuat tidak beres secara administrasi namun selesai dengan para petinggi birokrasi “Bagaimana mungkin usaha sebesar ini bisa beroperasi tanpa izin lengkap dan dengan upah semurah itu?” kata Aji
“Kami yakin ada tangan penguasa yang memberi restu. Kalau tidak, mana mungkin bangunan di sempadan sungai bisa berdiri mulus. Ini praktik mal-administrasi yang jelas merugikan rakyat,” ujarnya.
Pernyataan ini menggiring publik pada kesimpulan yang lebih gelap Mi Gacoan bukan sekadar restoran, melainkan simbol dari praktik “investasi rente” – di mana keuntungan segelintir pihak dipelihara dengan mengorbankan hak buruh dan mengabaikan aturan negara.
Anggota komisi III DPRD Lebak Asep Awaludin S.Ag, merespons dengan janji akan segera melakukan inspeksi mendadak.
“Kami akan segera sidak ke lokasi, memanggil pihak perusahaan, dan menggelar RDP,” ujar politisi muda dari partai PKB yang akrab dipanggil Acong.
Namun janji dewan ini masih dianggap basa-basi, karena publik tahu persoalan sebenarnya bukan hanya soal pengawasan, tapi juga soal keberanian DPRD menembus dinding “kepentingan tertentu” yang membentengi Mi Gacoan.
Catatan Baralak Nusantara
Kasus Mi Gacoan Rangkasbitung kini bukan sekadar soal pelanggaran tenaga kerja atau izin bangunan. Ia menjelma menjadi cermin rapuhnya tata kelola pemerintahan daerah, ketika hukum bisa dibengkokkan demi kepentingan tertentu.
Siapakah sebenarnya “tangan tak terlihat” yang melindungi Mi Gacoan?
Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan: apakah DPRD Lebak berani menegakkan aturan, atau justru larut dalam skenario lama di mana rakyat lagi-lagi menjadi korban.