Oleh: Dede Sudiarto – Bidang Pendidikan ICMI Banten
OPINI | BaralakNusantara.Com Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejak diluncurkan pada Januari 2025 digadang-gadang sebagai terobosan penting pemerintah dalam mendukung pemenuhan gizi siswa sekaligus memperkuat karakter peserta didik. Konsepnya sederhana namun strategis: pihak ketiga sebagai penyedia makanan bertanggung jawab penuh atas pengolahan, pengemasan, hingga pendistribusian makanan bergizi kepada siswa. Sekolah ditempatkan hanya sebagai penerima manfaat sekaligus pengawas di lapangan.
Namun praktik di lapangan jauh dari ideal. Di banyak daerah, penyedia makanan kerap hanya mengantar makanan sampai di sekolah. Proses distribusi langsung kepada siswa justru dibebankan kepada guru dan tenaga kependidikan. Beban teknis ini jelas mengganggu fungsi utama guru sebagai pendidik. Selain mengajar, mereka terpaksa mengorbankan waktu istirahat siang (isoma) untuk membagikan makanan. Bahkan, jika terjadi kerusakan atau kehilangan wadah, sekolah sering diminta menanggung kerugian dengan biaya sendiri.
BACA: OPINI: PDAM Lebak — Krisis Air atau Krisis Kepemimpinan?
Pertanyaan mendasar pun muncul: mengapa sekolah yang tidak mengolah makanan justru menjadi pihak paling dirugikan ketika masalah terjadi?
Lebih ironis lagi, sepanjang 2025 publik berkali-kali dikejutkan oleh kasus keracunan massal akibat konsumsi makanan MBG. Dari Sukoharjo, Batang, Pandeglang, Waingapu, hingga Garut, ratusan siswa terdampak. Di Kota Bogor, tercatat 223 murid mulai dari TK hingga SMA mengalami gejala keracunan, dengan 18 di antaranya harus dirawat inap. Di PALI, Sumatera Selatan, ada 173 siswa menjadi korban, sementara di Garut jumlahnya bahkan mencapai 569 siswa. Fakta-fakta ini menyingkap celah serius dalam sistem pengawasan mutu makanan, baik di dapur penyedia maupun dalam proses distribusi.
BACA: Bupati Lebak Dinilai Ngawur: Plt Dewan Pengawas BUMD Disorot, Rakyat Korban Air Bersih
Kontroversi kian memanas ketika muncul wacana agar guru dan kepala sekolah mencicipi makanan MBG terlebih dahulu sebelum diberikan kepada siswa. Pernyataan itu salah satunya disampaikan oleh Sekretaris Daerah Sleman, Susmiarto, yang kemudian menuai kritik luas hingga akhirnya meminta maaf. Meski sudah diklarifikasi, hal ini menyingkap kecenderungan yang berbahaya: adanya upaya mengalihkan tanggung jawab keamanan pangan dari penyedia ke pihak sekolah. Padahal guru dan kepala sekolah sama sekali tidak memiliki kompetensi maupun kewenangan teknis di bidang keamanan pangan. Menjadikan mereka “pencicip” makanan bukan hanya menyalahi fungsi utama sekolah, tetapi juga membahayakan keselamatan tenaga pendidik.
BACA: Jual Beli Proyek Sekolah: Ancaman Bagi Generasi Banten
Dari sisi regulasi, pemerintah melalui Badan Gizi Nasional (BGN), Dinas Kesehatan, dan BPOM telah menetapkan standar keamanan pangan—mulai dari kebersihan dapur, pemeriksaan organoleptik, hingga batas waktu aman antara pengolahan dan konsumsi. Petunjuk teknis pun menegaskan bahwa tanggung jawab penuh berada di tangan penyedia makanan, bukan sekolah. Sayangnya, implementasi di lapangan jauh dari konsisten. Banyak sekolah menerima makanan tanpa standar pengawasan yang memadai, sementara guru tetap menjadi pihak yang paling terbebani.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, program MBG yang sejatinya bertujuan meningkatkan kesehatan siswa justru akan menimbulkan keresahan. Guru dibebani tugas non-pedagogis yang makin berat, reputasi sekolah tercoreng ketika kasus keracunan terjadi, sementara penyedia makanan seringkali lolos dari kritik langsung.
Ironi ini memperlihatkan kelemahan serius dalam tata kelola: makanan memang berasal dari dapur penyedia, tetapi semua masalah ditanggung sekolah. Sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh agar MBG benar-benar menjadi program yang menyehatkan anak bangsa, bukan sebaliknya menghadirkan beban baru bagi dunia pendidikan.
Catatan Redaksi: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis. Seluruh isi dan pandangan yang tertuang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis, tidak mencerminkan sikap resmi redaksi.